Bencana datang bertubi-tubi

Tahun 2010 merupakan tahun yang paling mendera petani. Bencana datang bertubi-tubi, baik letusan Gunung Merapi (vulkanik) maupun gempa (tektonik). Begitu pula dengan bencana dalam bentuk perubahan iklim ekstrem yang menyebabkan hujan turun sepanjang tahun.

Akibat bencana iklim ekstrem, berbagai komoditas pangan dan pertanian mengalami penurunan produksi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, produksi padi 2010 hanya naik 2,46 persen atau 0,74 persen di bawah target 66,68 juta ton gabah kering giling. Produksi jagung kurang 2 juta ton dari target 19,8 juta ton.

Produksi kedelai turun 7,13 persen atau turun 69.497 ton dari tahun 2009. Bahkan, jika dibandingkan dengan target produksi 2010 sebanyak 1,3 juta ton, itu masih kurang 30,4 persen. Menteri Pertanian Suswono mengatakan, produksi gula turun 400.000 ton.

Kondisi yang sama menimpa komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan. Karena iklim basah dan hujan turun sepanjang tahun, banyak petani bawang merah di sentra produksi bawang Brebes, Jawa Tengah, yang gagal panen. Atau setidaknya panen bawang merah tahun ini jauh lebih rendah dari yang diharapkan.

Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini mengatakan, akibat hujan terus terjadi, sebagian tanaman sayuran busuk. Gangguan penyerbukan juga menimpa tanaman buah-buahan dan sayuran buah. Petani cabai juga mengalami kondisi yang sama.

Menurut Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia Dedi Setiadi, subsektor peternakan tak kalah ruginya. Produksi susu peternak tahun 2010 turun mencapai 100 ton per hari. Ini terjadi karena kualitas rumput kurang bagus akibat terlalu banyak kadar air. Begitu pula produksi telur bebek, yang juga turun.

Tak luput tanaman sawit, kakao, dan karet juga jadi korban. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, khususnya di Kabupaten Sleman, Boyolali, Klaten, dan Magelang, setidaknya terdapat 3.000 sapi perah atau sapi potong yang tak bisa diselamatkan akibat erupsi Gunung Merapi. Peternak pun kehilangan pendapatan.

Bangsa ini tentu tidak berharap. Namun, bencana alam diperkirakan masih akan terus terjadi, sangat mungkin dengan intensitas yang lebih tinggi. Apa yang harus dilakukan agar kerugian dari dampak bencana alam bisa diminimalkan?

Desain Besar

Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria berpendapat, pemerintah belum punya desain besar pembangunan pertanian di tengah bencana. Misalnya terkait bencana vulkanik, hingga saat ini belum ada riset yang menunjukkan apa manfaat limbah Merapi bagi pertanian.

Pola pengelolaan bencana juga harus dilakukan dengan cermat. Jepang memiliki sistem pembuangan lahar dingin melalui jalur khusus; jika terjadi banjir lahar dingin, banjir tersebut langsung terbuang ke laut sehingga tidak merugikan warga.

Sistem deteksi dini pun perlu dioptimalkan. Andai ada mekanisme deteksi dini dan prosedur operasional standar yang jelas dalam evakuasi hewan ternak seperti sapi dan kambing di Merapi, kematian sapi hingga 3.000 ekor tidak akan terjadi.

Soal mitigasi dan adaptasi terhadap bencana perubahan iklim sudah lebih maju. Meski kesadaran baru muncul tahun 2009, berbagai pencapaian sudah dilakukan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian menghasilkan benih padi varietas unggul yang tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas.

Namun, itu saja tidak cukup. Bagaimana memastikan varietas yang berhasil dikembangkan itu benar-benar dimanfaatkan petani sebagai respons atas iklim yang berubah. "Perlu strategi diseminasi teknologi pertanian yang lebih baik," kata Arif.

Ke depan, Balitbang Pertanian tidak cukup hanya puas merakit benih padi. Bagaimana dengan benih kedelai yang produktivitasnya masih rendah dan rentan serangan hama penyakit. Bagaimana dengan bibit tebu yang perlu lebih tahan kondisi basah. Juga sayur-sayuran dan buah-buahan.

Kepala Balitbang Pertanian Kementerian Pertanian Haryono menyatakan, pengembangan pertanian ke depan tidak bisa lain harus bertumpu pada riset.

"Anggaran cukup memadai karena alokasi dana riset di Kementerian mencapai 10-12 persen," katanya.

Namun, secara nasional masih relatif kecil, baru sekitar 0,02 persen. Tentu ini belum memadai. Padahal, kebutuhan pengembangan riset sangat besar. Tantangan ke depan tidak semata peningkatan produktivitas tanaman, tetapi bagaimana produktivitas tinggi bisa dicapai di tengah kondisi bencana dan gangguan iklim yang kian nyata.

Belum lagi maraknya pengembangan varietas baru melalui genetic modified organism (GMO). "Kita tidak akan pernah tahu dengan pemenuhan pangan 100-200 tahun mendatang. Lahan pertanian menyusut, penduduk yang butuh makan bertambah banyak, tak ada pilihan kecuali memproduksi pangan lebih beragam dengan produktivitas lebih tinggi," katanya.

Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan, untuk mendorong peningkatan produksi, pemerintah akan memfokuskan pemanfaatan lahan-lahan pertanian marginal.

Juga memberikan dukungan benih unggul spesifik lokasi dan bantuan pupuk. Akselerasi penanganan terhadap komoditas pertanian dan hewan ternak yang jadi korban bencana vulkanik juga perlu ditingkatkan.

Beda Penanganan

Penanganan dampak bencana harus berbeda, baik dari jenis bencana maupun komoditas yang dikembangkannya.

Secara umum, untuk tanaman musiman, yang paling dibutuhkan petani dalam situasi iklim tak menentu adalah ketepatan peramalan iklim oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

Ketepatan informasi ini harus dipastikan sampai ke telinga petani. Dengan begitu, petani bisa lebih awal mengantisipasi.

Khusus untuk komoditas padi, yang dibutuhkan adalah penggunaan varietas yang tepat berdasarkan karakter dampak perubahan iklim di daerah itu. Dan penting, varietas yang sesuai kondisi itu harus tersedia, tidak semata wacana.

Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Nur Gaybita mengatakan, dalam kondisi iklim basah seperti ini, petani padi memerlukan sarana pengeringan, baik di tiap kelompok tani maupun di unit penggilingan padi.

Pengamat perberasan Husein Sawit mengatakan, saat ini baru 30 persen dari total penggilingan di Indonesia yang memiliki perlengkapan sarana pengering, selebihnya masih pengeringan tradisional.

Sarana pengering ini tidak semata untuk komoditas padi, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk jagung, kopi, dan sebagainya. Modernisasi mesin penggilingan diperlukan untuk menghasilkan beras berkualitas bagus sehingga harganya tinggi dan keuntungan petani bertambah. Karena itu, alokasi anggaran yang lebih besar diperlukan untuk pengadaan sarana pengeringan.

Untuk komoditas jagung, tantangan terbesar bagaimana industri perbenihan jagung nasional mampu menghasilkan benih jagung yang tahan kondisi basah dan kering.

Adapun untuk kedelai, bagaimana lembaga riset bisa menghasilkan kedelai dengan produktivitas tinggi di atas 3 ton per hektar dengan ketahanan hama penyakit yang tinggi.

Untuk ternak sapi, pengetahuan tentang bagaimana pemberian pakan yang tepat bagi hewan ternaknya dalam kondisi iklim basah atau kering harus tak kenal lelah dilakukan. Begitu juga dengan bibit sapi perah dan pedaging berkualitas. Hal yang sama berlaku bagi sistem pakan dan perkandangan unggas.

Desain besar soal pembangunan pertanian di tengah bencana sudah saatnya dirancang. Kalau lima tahun lalu fokus program dan riset sebatas pada peningkatan produksi, sekarang sudah harus diarahkan pada peningkatan produksi dan produktivitas sekaligus bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Tantangannya kian berat. Tetapi kalau semua pihak bekerja cerdas dan sungguh-sungguh, bangsa ini bisa membangun pertanian yang unggul meski di tengah deraan bencana sekalipun. Demikian catatan online Jasa Sertifikasi Postel tentang Bencana datang bertubi-tubi.