Conflict of Interest

Siap Menaklukkan Everest di Usia 13 Tahun merupakan postingan sebelumnya di Standardisasi's Blog, dan kali ini saya akan membahas tentang Conflict of Interest. Menurut informasi yang saya dapatkan melalui mesin pencari google bahwa sewaktu ditunjuk menjadi pejabat eselon I beberapa tahun lalu, saya menutup kantor konsultan yang sudah saya bangun bertahuntahun. Meski bergaji Rp4 juta dan tanpa fasilitas apa pun, saya rela menutup sesuatu yang sudah menjadi bagian dari hidup saya.

Setiap kali menerima gaji (yang diberikan secara tunai dalam amplop tertutup), saya selalu bersyukur. Namun, keinginan membawa pulang gaji sebagai pejabat negara pegawai negeri sipil (PNS) tak pernah menjadi kenyataan. Setiap saat gajian, selalu saja ada pegawai negeri yang menyatakan keluhan: anaknya mau kuliah, perlu membeli buku, berobat, rumah digusur, dan seterusnya.

Saya selalu teringat ucapanucapan senior-senior saya bahwa di pemerintahan, staf dan anak buah adalah tanggung jawab atasan. Hanya saja saya tak pernah mendapatkan kejelasan bagaimana caranya membiayai mereka.Atau mungkin zamannya sudah berbeda. Saya memutuskan untuk hidup dari honor tulisan, royalti buku, serta beberapa seminar yang masih sempat saya berikan di akhir pekan.

Hampir dua tahun saya mengabdi, tabungan mulai menipis.Saya mengubah habis-habisan pola belanja keluarga. Namun, begitu menyaksikan atasan saya membiarkan perbuatan tidak pantas dan bahkan melindungi perbuatan itu, saya pun mengajukan keberatan dan memilih berhenti. Sebagai dosen saya mulai menata kembali hidup dan memilih untuk mengabdi pada lingkup yang kecil.

Mengurus posyandu di lingkungan tetangga,membangun rumah baca di depan rumah, serta mengurus sampah. Saya kira pekerjaan seperti itu hal biasa dan banyak dilakukan rekan-rekan saya. Hanya saja belakangan ini kegiatan saya mulai melebar dan bayang-bayang conflict of interest begitu kuat di depan mata saya.

Kegiatan yang saya lakukan ini sekarang diberi nama sebagai social entrepreneur yang dipopulerkan David Bornstein dalam bukunya yang berjudul How to Change the World: Social Entrepreneurs and The Power of New Ideas. Saya semakin paham setelah menyaksikan Ashoka yang dipelopori Bill Drayton membina penggerakpenggerak sosial di berbagai pelosok Indonesia.

Dalam setahun ini, British Council pun gencar memperkenalkan figur-figur penting yang berkarya sebagai penggiat sosial dari Inggris Utara. Kami bertukar pikiran dan menjajaki kerja sama.Di Indonesia, mentor para social entrepreneur adalah Bambang Ismawan, pendiri yayasan Bina Swadaya yang sudah 44 tahun bergelut dalam bidang perubahan sosial dan pertanian.

Kami bersama-sama mendirikan Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia dan kebetulan saya diberi amanah sebagai ketua pelaksana. Di asosiasi ini kami membangun jaringan dan saling memperkuat. Beberapa anggota kami mendapat pelatihan di luar negeri dan diakui sebagai pemuda pelopor yang memperoleh penghargaan internasional. Minggu lalu, dalam Temu Nasional Asosiasi Kewirausahaan Sosial yang dihadiri peserta dari berbagai daerah, saya mengajak para akademisi bergabung.

Bukankah setiap dosen wajib menjalankan misi tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat)? Namun sebuah masalah muncul. Dari mana sumber uangnya? Saya mengatakan, Yacari uanglah. Harus mandiri. Beberapa orang tersenyum.Yang lain mengatakan tidak bisa, lebih baik mengandalkan sumbangan saja. Para penggiat sosial mengatakan, Kalau mau sustainable, ya harus punya usaha. Harus mandiri.”

Seorang peserta yang lain berkata tajam, Uang sumber fitnah. Saya bilang ya kalau tidak dikelola secara profesional. Mentor saya, Bambang Ismawan, mengatakan, Dulu waktu majalah Trubusmulai dapat iklan dan untung, orang mulai ribut.Mereka tidak banyak bicara ketika bertahun-tahun kita harus menombok. Seorang senior yang lain mengatakan, Itulah manusia, begitu mendengar kita mencari uang,yang dibicarakan bukan pengabdiannya, melainkan berapa uangnya.

Di tengah-tengah kampung tempat kami tinggal di pinggiran Kota Bekasi, perlahan-lahan rumah baca yang dikelola istri saya mulai berevolusi dengan kehadiran pendidikan anak usia dini (PAUD). Dia mencairkan tabungannya, membeli sepetak tanah kosong yang terbengkalai, dan membangun dua ruang kelas. Saat ini muridnya sudah sekitar 100 anak usia prasekolah.

Dia berteman dengan para kader posyandu, ibu-ibu yang berhati mulia. Mereka mengurus anak-anak tukang ojek,anak sopir-sopir angkot, dan kaum sederhana agar anakanak mereka bisa bersekolah. Tahun ini orang-orang tua muridnya meminta dibuatkan taman kanak-kanak agar anak-anak mereka bisa terus sekolah.

Saya bisa mengerti, saat ini uang sekolah di taman kanak-kanak di dekat rumah kami sudah mencapai Rp150.000/bulan,uang pangkalnya Rp1 juta. Dari mana seorang tukang ojek membiayai sekolah anaknya? Setiap malam, itulah obrolan kami di tempat tidur. Kalau Anda menjadi saya, mungkin hal yang sama akan dialami. Kita tidak bisa tertidur nyenyak tanpa solusi. Kita memerlukan uang untuk membiayai kegiatan, tetapi sebagai pegawai negeri sipil, saya paham uang sumber fitnah.

Saat Bahasyim Assifie diperiksa polisi, saya menjadi amat tertegun. Luar biasa besar kekayaannya. Dengan uang sebesar itu pasti kita bisa membuat ratusan PAUD dan taman kanak-kanak untuk kaum papa. Rumahnya besar,pasti sangat nyaman bila dipakai untuk ruang kelas. Namun, yang membuat saya terhentak bukan kekayaan sebesar itu karena kita sudah terlalu biasa menyaksikan pejabat yang memiliki rumah besar-besar.

Yang membuat saya terhentak adalah pertanyaan presenter berita kepada mantan Dirjen Pajak, Sebenarnya boleh atau tidak PNS berbisnis? Maklumlah, itulah yang sering dijadikan alasan para tersangka korupsi bahwa kekayaannya berasal dari kegiatan bisnis. Hari-hari ini saya sedang memimpin training of trainers (TOT) untuk para dosen pengasuh mata kuliah kewirausahaan.

Beberapa orang di antara mereka adalah PNS dan mereka mengatakan kepada saya, Kalau saya tidak berbisnis, bagaimana saya bisa mengajar kewirausahaan? Apa hanya definisi yang bisa saya berikan? Di kampus, dosen berbisnis sudah menjadi hal yang biasa saya lihat. Dosen-dosen ini memang sibuk, tetapi entah mengapa pepatah Arab yang saya kenal ternyata benar adanya.

Pepatah itu mengatakan Kalau ada amanah berikanlah kepada orang yang sibuk, sebab mereka tahu bagaimana caranya mengatur waktu. Aneh, semakin sibuk, tampang mereka memang jarang terlihat secara fisik, tetapi pekerjaan mereka beres semua. Namun, sejumlah masalah masih muncul.

Bolehkah dosen berbisnis? Atau bagaimana dosen ilmu-ilmu sosial terlibat dalam pengabdian masyarakat? Bolehkah membangun masyarakat dengan kemandirian? Konflikkah? Suara-suara setuju dan tidak setuju sudah pasti ada.Yang jelas pengabdian sosial harus berjalan terus. Sebab tak semua urusan bisa diatasi oleh negara. Kalau Anda ingin negeri ini menjadi lebih baik, jadilah solusi. Atau kalau tak bisa berbuat baik, berhentilah menertawakan atau mencela mereka yang mau melakukannya.