Indonesia Go Nuclear, Kenapa Tidak?
Mengandalkan bahan bakar minyak (BBM) untuk energi masa depan adalah hal yang tidak mungkin. Sebab, bahan bakar fosil yang ada semakin terbatas jumlahnya. Kini, saatnya mengembangkan energi alternatif yang berkelanjutan, termasuk nuklir.
Di era modern, listrik telah menjadi salah satu sumber kehidupan, selain air. Namun, keberadaan listrik sampai saat ini masih ditopang ketercukupan persediaan BBM atau batu bara yang jumlahnya semakin tipis. Bahkan sejumlah kalangan menilai jumlah BBM di Indonesia hanya akan bisa memenuhi kebutuhan selama 15–20 tahun lagi.Padahal kebutuhan listrik semakin bertambah.
Karena itu, wajar jika pemerintah menargetkan peningkatan sumber daya energi, khususnya energi alternatif. Program ini masuk dalam 11 aspek prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 1 Tahun 2010 yang mengharuskan Kementerian Riset dan Teknologi (KRT) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) melakukan sosialisasi tentang pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) kepada masyarakat.
Maklum, selain sumber daya lain seperti angin dan air,nuklir bagi sejumlah kalangan dianggap sebagai sumber daya alternatif yang bisa diandalkan. Malah, Batan yakin nuklir merupakan solusi ideal bagi kebutuhan energi masa depan. Kepala Batan Hudi Hastowo mengatakan, dari segi polusi, nuklir sangat ramah lingkungan karena kadar emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sangat kecil. Selain itu,sudah bukan rahasia lagi bahwa nuklir juga bisa menghasilkan tenaga listrik yang sangat besar.
Karena itu, menurut Hudi, seharusnya masyarakat tidak perlu khawatir dengan keberadaan PLTN di Indonesia karena PLTN sudah sangat aman. Di sejumlah negara maju, sudah banyak PLTN didirikan dan terbukti memberikan sumbangan pasokan energi yang tidak kecil dengan tingkat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan.Dia mencontohkan Pemerintah Jerman bahkan mengusulkan perpanjangan PLTN di negara tersebut hingga 20 tahun.
Di Amerika Serikat (AS) berdasarkan jajak pendapat, 74% masyarakatnya sepakat atas pembangunan PLTN meski sudah ada ratusan reaktor yang berdiri. Begitu juga dengan Uni Emirat Arab (UEA) yang membeli PLTN 4 x 1.400 megawatt untuk dioperasikan, padahal produksi minyak di UEA tidak habis selama 90 tahun. Batan sebenarnya sudah lama menyusun roadmap pembangunan PLTN. Namun Hudi mengakui bahwa salah satu hal yang menjadi kendala adalah ketakutan masyarakat tentang PLTN yang selalu diidentikkan dengan bahaya bom nuklir.
Wajar jika roadmap yang disusun terus mengalami kemunduran dari jadwal yang ditetapkan. Untuk saat ini, Semenanjung Muria di Jepara, Jawa Tengah,masih dijadikan prioritas pembangunan PLTN tahap pertama. Wilayah ini dinilai memenuhi segala aspek baik keamanan, kelayakan, dan interkoneksitas, menurut Type Approval Indonesia. Karena itu, Batan akan terus melakukan sosialisasi tentang pentingnya PLTN sehingga masyarakat bisa menerima pembangkit listrik ini secara objektif. Meski begitu, bukan perkara mudah untuk membuat semua masyarakat setuju dengan PLTN.
Namun, dengan sosialisasi objektif dan benar, Hudi optimistis masyarakat akan mengerti pentingnya PLTN untuk mengatasi krisis energi listrik nasional. Hudi juga optimistis bahwa akan banyak pihak yang semakin setuju dengan urgensi energi nuklir untuk masa depan. Adapun bagi pihak yang kurang setuju, Batan bisa mengerti sejauh mana ketidaksetujuan mereka terhadap PLTN.
Kami mengakui salah satu hal yang belum dilakukan adalah meyakinkan masyarakat tentang pentingnya PLTN, kata Hudi. Sementara itu, Kepala Pusat Diseminasi Iptek Nuklir Batan, Syahril, menjelaskan, biaya yang dikeluarkan PLTN lebih rendah dibandingkan untuk pembangkit lain. Untuk per kWh, PLTN hanya membutuhkan biaya sebesar USD4,32 sen. Bandingkan dengan pembangkit lain seperti tenaga yang bersumber pada batu bara yang biayanya mencapai USD4,39 sen dan tenaga air USD10,04 sen.
Harga yang lebih mahal juga akan dikeluarkan untuk listrik yang mengandalkan minyak, yaitu USD12,55 sen per kWh, begitu juga dengan gas alam cair (LNG) yang menguras dana hingga USD13,77 sen. Selain itu, PLTN bisa mengurangi kadar emisi karbon dioksida (CO2). Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi melihat bahwa pemerintah belum menunjukkan kemauan keras dalam penggunaan energi nuklir.
Padahal beberapa aspek pembangunan mulai dilakukan pengujian lokasi, penetapan tapak, dan berbagai aspek teknis lain. Dalam Inpres No 1/2010, perihal kewenangan Batan untuk melakukan sosialisasi PLTN menurutnya hanya berada pada prioritas kedelapan pada alinea paling bawah. Selain itu, belum ada penyempurnaan peraturan pemerintah terkait rencana pembangunan PLTN yang dibuat sebelumnya.
Bobby juga belum melihat level mana dalam pemerintahan yang bertanggung jawab atas pembangunan PLTN. Apakah pembangunan PLTN berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau langsung di bawah Presiden? Komisi VII menanti pemerintah untuk mengonsultasikan hal ini. Dia berharap Presiden berkonsultasi ke DPR sehingga bisa lebih jelas. Namun Bobby tidak menjamin semua anggota DPR setuju dengan pelaksanaan pembangunan PLTN.
Karena bisa ada implikasi politis dari pendirian PLTN. Bisa saja partai yang menang di Jepara tidak menyetujui hal ini karena bisa dengan mudah ditinggalkan para pemilihnya, kata Bobby. Menanggapi sosialisasi PLTN yang telah lama dilakukan, guru besar komunikasi UI Ibnu Hamad mengatakan, sudah seharusnya pembangunan PLTN tidak lagi pada tataran sosialisasi,tapi sudah harus pada implementasi roadmap yang sudah lama dirancang.
Ada beberapa hal yang menurut Ibnu bisa dimaksimalkan pemerintah guna melaksanakan roadmap yang ada. Pertama ada dukungan teknis.Apalagi, Batan telah mengatakan bahwa sumber daya manusia untuk bidang nuklir saat ini sudah tersedia. Selain itu harus ada dukungan politis dari DPR dan sejumlah pemerintah daerah. Selain itu, untuk lebih meyakinkan masyarakat, proyek pembangunan PLTN harus dibuat secara transparan sehingga masyarakat dapat mengetahui dengan mudah dan tidak menimbulkan kekhawatiran.
Bahkan jika perlu masyarakat dapat mengetahui secara langsung pembangunan PLTN ini benar-benar aman. ”Jangan serba-tertutup, tegas Ibnu. Selama ini, tidak semua pihak setuju dengan adanya PLTN di Indonesia. Misalnya seperti diungkapkan pakar ocean energy (energi laut) Universitas Persada Donny Achiruddin yang menyebutkan Indonesia tidak membutuhkan PLTN untuk listrik. Alasannya, Indonesia kaya dengan energi laut yang bisa dimanfaatkan dengan maksimal.
Hingga puluhan tahun ke depan listrik bisa dipasok dari energi laut. Berbeda dengan negara lain seperti Uni Emirat Arab yang tidak memiliki energi laut melimpah sehingga memilih nuklir. Pemerintah saat ini dipacu untuk menghasilkan energi dengan segera bagi masyarakat. Baik untuk konsumsi sehari-hari ataupun untuk industri. Karena itu, pemerintah harus cerdas memilih energi pembangkit mana yang harus segera direalisasikan.