Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah

Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara mencatat kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang tahun 2010 masih mendominasi tingginya pelanggaran terhadap hak anak. ”Dari 153 pengaduan yang kami terima,34 diantaranya kasus kekerasan seksual terhadap anak,”kata ketua Pokja Pengaduan dan Fasilitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumatera Utara, Muslim Harahap di Medan, kemarin.

Muslim mengatakan,angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2009.Yakni 110 pengaduan yang diterima, 31 diantaranya adalah kasus kekerasan yang dialami anak,seperti perkosaan dan pencabulan. ”Masih tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak tersebut akibat masih lemahnya penanganan hukum yang diberlakukan aparat penegak hukum,”katanya.

Kebanyakan korban yang datang mengadu ke KPAID karena tidak adanya tindakan nyata dari petugas, meskipun korban telah melaporkan ke pihak kepolisian dengan alasan tidak adanya bukti dan saksi untuk menguatkan pengaduan tersebut.”Sementara untuk kasus kekerasan seksual terhadap anak,seperti perkosaan dan pencabulan tidak akan mungkin disaksikan oleh orang lain,”katanya. Hal inilah yang menurut dia menjadi alasan mengapa masih banyak para pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak jera ataupun takut untuk melakukan aksinya. Bahkan,lanjut dia,KPAID juga sering menemukan kasus pengaduan perkosaan dan pencabulan,yang berakhir damai secara kekeluargaan. Ironisnya perdamaian tersebut justru difasilitasi oleh aparat penegak hukum sendiri.

Selain kekerasan seksual terhadap anak,menurut dia, kekerasan secara fisik seperti penganiayaan terhadap anak,juga mengalami peningkatan angka yang signifikan. Pada tahun 2009,KPAID hanya menerima 11 kasus penganiayaan yang dialami anak, namun angka itu meningkat hampir dua kali lipat atau sebanyak 21 kasus pada tahun 2010. ”Tingginya angka itu adalah sebuah bukti kurang berjalannya pencapaian penegak hukum di suatu wilayah. Sehingga masyarakat seakan hilang kepercayaan terhadap aparatur keamanan dan ditakutkan korban kekerasan terhadap anak akan terus bertambah,” katanya. Pengamat sosial dari Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan menyebutkan, meningkatnya kekerasan seksual terhadap anak di Sumut itu tidak terlepas dari tontonan televisi yang tidak mendidik oleh anak dan pelaku kekerasan.

”Tontotan yang tidak mendidik dan senantiasa menampilkan aksi kekerasan dan sensualitas sangat berpengaruh sekali mengubah cara pandang masyarakat,” ujar Dadang, ketika dihubungi SINDO tadi malam. Dadang menyebutkan, selain faktor tontonan yang tidak mendidik, masyarakat Sumut juga dinilai masih terlalu lemah dan tidak memiliki panutan. ”Saat ini pengajaran agama tidak lagi menjadi tekanan oleh tokoh-tokoh agama juga para pendidik,”sebutnya. Selain itu, keberadaan orangtua saat ini juga telah mengalami degradasi. Banyak orangtua yang tidak lagi menjadi panutan dan teladan di dalam keluarganya. Untuk meminimalisir tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak ini, kata Dadang, maka hal yang penting dilakukan adalah peran keluarga.

”Peran orangtua harus dikembalikan sebagai penjaga rumah tangga,penjaga moralitas anak juga orangtua harus melakukan pendekatan dengan anakanaknya,” kata Dadang. Lalu, para penegak hukum harus benar-benar mengambil langkah yang efektif dalam mengatasi kasus ini. Tentunya, bagi pelaku kekerasan harus dijatuhi hukuman yang setimpal sehingga menjadi efek jera bagi pelaku. Selain itu, tentu saja upaya yang harus dilakukan oleh semua elemen masyarakat tak terkecuali pemerintah.

Dadang menyebutkan, pemerintah harus memanfaatkan seluruh instrument yang dimilikinya untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak.Misalnya di sekolah,maka guru harus berperan aktif untuk membimbing dan mengajarkan moral bagi anak didiknya. Demikian catatan online Jasa Sertifikasi Postel tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah.