Swasembada Gula Sulit Direalisasikan
Program swasembada gula yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2014 dinilai sulit untuk teralisasi, menurut pemantauan Belajar HTML. Persoalannya, pembangunan 17 pabrik gula dan ekspansi lahan tebu masih terkendala ketersediaan lahan.
Mimpi kali mau swasembada. Bagaimana mau swasembada? Memangnya membangun pabrik dan mencari lahan itu gampang?,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Natsyir Mansyur di Jakarta,kemarin. Dia mengatakan, meski pemerintah sendiri mengatakan gula merupakan sektor strategis, tapi tidak ada pembinaan dan pendampingan.
Kondisi ini, menurut dia, menghambat investor masuk.”Terbukti impor gula yang kemarin tidak laku kan? Karena yang laku hanya gula rafinasi,”ujarnya. Sementara itu, Natsyir mengakui, pada saat ini pihaknya masih menunggu kepastian lahan untuk merealisasikan pembangunan pabrik gula di Maros, Sulawesi Selatan.
Di mana,Natsyir menjadi salah satu investor yang ikut dalam program pembangunan 17 pabrik gula.”Perusahaan saya ikut dalam program itu, tapi mencari lahan susah.Ada yang sudah dibidik,tapi masih ditanami jarak yang tak kunjung ada pembelinya,”ungkapnya. Rencananya, Natsyir mengeluarkan dana investasi yang mencapai Rp200 miliar untuk membangun pabrik seluas 20 hektar (ha) dan lahan seluas 2.500 ha.
”Kapasitas produksinya ditargetkan sekitar 2.000 ton can per day,” tandasnya. Seperti diketahui, Letter of Intent (LoI) yang diteken Presiden SBY dengan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg di Oslo, Norwegia pada Kamis (27/5/2010), menyepakati bahwa, Norwegia akan memberikan dana hibah senilai USD1 miliar kepada Indonesia untuk membiayai programprogram pengurangan emisi gas rumah kaca.
Adapun syarat pemberian hibah tersebut adalah Indonesia harus melakukan moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan. Dengan demikian, pada tahun 2011–2012 lahan gambut dan lahan berhutan tidak mendapatkan izin pelepasan hutan untuk usaha apa pun. Padahal, pemerintah menargetkan, pemetaan lahan untuk program revitalisasi industri gula selesai pada Juni 2010.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Benny Wachyudi mengatakan, kejelasan dari masalah itu, masih menunggu sikap dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut). ”Menunggu penjelasan dari Kemenhut, bagaimana kebijakannya. Sementara itu, kami mencari lahan-lahan yang sudah ada,secara bertahap,”tandas Benny.
Di sisi lain, Natsir menambahkan, pemerintah juga belum bisa mengatasi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan gula. Kondisi ini, menurut dia, akibat kebijakan tata niaga gula di Indonesia yang tidak jelas. Dengan kondisi tersebut, Natsyir mengusulkan, tata niaga gula sebaiknya diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda). Pasalnya, kata dia, pemda lebih mengetahui kondisi kebutuhan gula di daerahnya masing-masing.
Mereka yang lebih dekat dengan konsumen di sana, menurut informasi yang didapat Type Approval Indonesia. Kalau gula itu semakin diatur, akan semakin kacau, bebernya. Natsyir menjelaskan, tata niaga gula akan selalu menjadi masalah di Indonesia. Dia mencontohkan, apabila sebelumnya modus yang digunakan adalah dengan sistem pembelian sebelum panen (forward), sekarang dengan sistem rebound (mengambil keuntungan saat panen).