Guruku... Idolaku

Menurut informasi yang diterima Type Approval Indonesia bahwa KATA Bu guru, kalau makan harus pakai sendok dan garpu.” ”Kata Bu guru, kalau bobok tidak boleh lebih dari jam sembilan malam. Kata Bu guru, kalau menulis harus di meja belajar.

Moms, mungkin sering mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut si kecil! Apapun yang akan dikerjakan anak selalu mengikuti apa kata gurunya. Boleh dibilang apa-apa kata bu guru. Apakah salah jika si kecil selalu menuruti kata sang guru?

Orangtua Kurang Berperan

Mungkin dalam benak Moms bertanya-tanya, ”Kenapa ya, Anakku lebih mengikuti apa dikatakan gurunya daripada orangtuanya sendiri?” Menurut Clara Moningka, S.Psi.,M.Si dari Lembaga Pelayanan Psikologi UKRIDA, hal itu bisa saja karena peran orangtua yang kurang menonjol.

Misal, tidak memberikan jawaban atau solusi yang memuaskan pada anak, bahkan cenderung cuek dengan anak. Atau setiap si kecil bertanya, orangtua kerap kali menjawab, ”Tanyakan saja pada Bu guru.”

Menurut grandong Hal ini tentu akan memicu anak untuk lebih mendengarkan kata-kata guru ketimbang orangtua sendiri. Selain itu, bisa juga si anak beranggapan bahwa guru lebih pintar dan lebih benar daripada orangtua. Sehingga anak lebih memilih untuk mendengarkan gurunya.

Prinsipnya, selama yang diikuti anak bersifat positif, tidak terlalu masalah. Hanya saja, orangtua juga harus berperan aktif dalam memberikan stimulasi positif kepada anak.

Utamanya dalam pembentukan pribadi yang positif. Misalnya mau dengan sabar menjelaskan dan memberikan contoh. Dengan begitu anak menyadari bahwa orangtua mereka juga pandai dan dapat memberikan contoh dan informasi untuk mereka.

”Kadang kesalahan orangtua adalah menyerahkan semuanya kepada guru. Kalau demikian jangan menyalahkan anak jika dia terlampau ”patuh” pada gurunya,” imbuh Clara.

Orangtua Harus Proaktif

Untuk menghindari ’apa-apa Bu guru’ sebaiknya orangtua proaktif terhadap perkembangan dan pendidikan buah hatinya. Jangan menyerahkan semua ke sekolah atau guru. Orangtua harus meluangkan waktu untuk memberikan ’pelajaran’ kepada anak, memberi contoh, bercerita, atau menanyakan perkembangan di sekolah.

Orangtua juga jangan serta merta menyerahkan pengasuhan anak pada institusi, baby sitter, atau orang lain di luar keluarga inti. Orangtua harus mampu menentukan standar norma atau aturan yang pada akhirnya dapat dimengerti anak dan digunakan sebagai acuan. Tentu semua itu harus sesuai dengan usia anak.

Tapi, standar ini pun masih mengacu pada peraturan atau norma yang ditetapkan orang lain (eksternal), dalam hal ini adalah guru. Semua dijelaskan dalam tahap penalaran moral dari Kohlbergh yaitu tahap konvensional.

Di mana internalisasi anak belum sepenuhnya mematuhi standar tertentu, artinya mereka masih lebih ’memandang’ standar orang lain, dalam hal ini guru. Alangkah lebih baik, jika orangtua yang lebih banyak memberikan contoh ketimbang lingkungan lain.

Orangtua Harus Kompak dengan Guru

Meski demikian, orangtua jangan terlalu khawatir bila anak terlalu mengidolakan gurunya. Asalkan semua masih wajar dan positif, ditambah dengan penjelasan dan contoh yang baik dari orangtua. Kecuali jika anak mengikuti kata-kata yang tidak baik. Pada anak-anak, memang seringkali ada tokoh ideal yang mereka ikuti.

Orangtua, harus mempunyai rasa percaya dengan guru, harus kompak dan bekerja sama dengan guru anak di sekolah. Dengan demikian, orangtua akan mendapat laporan dari guru, tentang apa yang dilakukan anak selama di sekolah.

Untuk mengantisipasi sisi negatif yang akan muncul, orangtua juga harus memberikan contoh kepada anak apabila orangtua dan guru selalu kompak dengan suatu hal yang dapat mendorong agar anak menjadi semangat. Sehingga menurut Banaspati, anak akan mengidolakan guru dan orangtuanya. Tidak lupa, orangtua harus meluangkan waktu untuk anak, agar anak dapat mengerti akan keberadaan orangtua.