Ibu yang Terusir

Aku tak paham dengan semua ini. Meskipun umurku sudah 89 tahun, kata Awan, tapi ingatanku belum hilang. Kupingku belum tuli.

Dan perasaanku tidak mati. Aku bisa berjalan meskipun dengan bantuan bambu hitam buatan Wahib. Tua tidak harus pikun. Menjadi tua bukan berarti menyusahkan orang lain. Sepeninggal Parto Yun suamiku, aku hidup sendiri. Anakku memang banyak, cucuku lebih banyak, cicitku sudah 12 dan canggahku( anak dari cicit) ada 3 orang.

Yang tidak habis pikir, hanya si Awan dan Fai saja mampir menjenguk. Kedua anak Wahib ini selalu dekat denganku. Mereka juga yang mau ngeroki aku saat masuk angin. Ke mana anak-anakku yang lain? Cucuku yang lain? Banyak yang bilang aku ini orang tua bahagia. Keturunanku tidak dalam kategori miskin, dari segi kekayaan. Mereka juga terpandang.

Dan itu benar, semua anakku memberiku makan dan uang. Lalu apa bedanya seorang ibu dengan binatang seperti burung piaraan? Burung yang tak pernah diajak bicara, hanya butuh kenyang dan bersuara indah, kemudian mati. Apakah mereka tidak tahu dari rahim inilah tempat asalnya. Air susuku kini telah gabug mereka habiskan. Aku sendiri di tengah keramaian. Hanya sebatang kara dalam ikatan darah. Tidak berbakti kepada orang tua bukan lagi dosa, tapi hal biasa. Malangnya, ini berlaku bagiku.

Aku mulai merasa ketakutan jikalau hujan datang. Ketika gelap memakan cahaya lampu. Yah, aku memang sudah tua. Orang bilang kembali bersifat kanak-kanak lagi. Mereka salah. Aku hanya takut sendiri, bukan takut mati. “Si, si…., si..”, aku panggil Sirah, anakku yang juga sudah punya cucu. “Ada apa Mbok”, jawab Sirah. “Sepertinya malam ini hujan deras, angin sudah kencang dan langit hitam pekat. Aku nginap di sini ya”. Sirah tidak langsung menjawab, tapi ia menyuruhku masuk dan duduk di sofa. Sirah masuk ke dapur.

Mungkin menemui suaminya yang sedang makan. Mengapa anakku harus meminta izin suami? Padahal rumah ini punya 8 kamar, hanya Sirah, Irlan, ditambah dua cucu yang menempati. Anaknya merantau semua. Ruang tamu pun luas. Sambil membuka kelambu yang menutupi pintu penghubung ruang tengah dan ruang tamu, Sirah berucap, ”Ya Mbok, tidur di sini saja”. Hatiku lega.

Aku pulang sebentar, langkah kakiku jadi lebih ringan. Rumahku dengan Sirah hanya berjarak tiga rumah. Kejadian seperti ini berlanjut hingga dua tahun. “Mbok, dari pada wira-wiri ngetan ngulon, mulai sekarang tinggallah di sini.” Aku tinggal di rumah Sirah. Menyenangkan. Terkadang aku menyempatkan diri mencuci piring, menyapu, dan semua pekerjaan yang sekiranya menyenangkan anakku.

Aku memang dididik untuk bekerja. Karena piring itu, lantai itu, tidak bisa bersih hanya dengan kata-kata. Bila kesepian, aku jalan-jalan ke rumah Ndhuk Ti, si sulung yang rumahnya bisa ditempuh hanya lima menit. Tinggal di belakangnya si Marlin, bungsuku. Biar tidak ada yang iri hati karena dekat dengan salah satu anak, aku juga menyempatkan diri menengok anakku Wahib, rumahnya paling jauh, butuh 20 menit untuk berjalan.

Selama ini hanya putra-putri Wahib yang menyempatkan diri mengunjungiku di rumah Sirah. Ada yang tak pernah aku tengok,Tirah, rumahnya di Palembang. Rupanya Sirah salah paham dengan kunjunganku ke saudara-saudaranya. Dia mulai sering marah-marah, terutama suami. Aku dikira menghamburkan tabunganku kepada anak-anak yang lain. Padahal tak sepeser pun uang aku punya.

Dan yang paling menyakitkan adalah sewaktu ia berkata, ”Ikutlah kepada anakmu yang lain, dari dulu engkau tidak pernah adil kepadaku. Mereka yang kamu sayang, kamu beri sawah”. Ya, aku baru sadar kalau Sirah memang sudah sejak lama, sekitar 15 tahun tidak berbicara dengan Ndhuk Ti. Ndhuk Ti menuduh Irlan suami Sirah telah meracuni kerbaunya hingga mati.

Sejak saat itu, aku dengar Ndhuk Ti bersumpah tidak akan berbicara dengan Irlan dan Sirah, meskipun sering membicarakannya di belakang. Dendam itu juga berakibat padaku, seorang tua renta yang sedang menunggu panggilan Sang Maha Kuasa. Aku menjadi ibu yang terusir. Bisa-bisa aku masuk ke Panti Jompo. Namun, apa kata orang nanti terhadap semua anakku? Sampai kapan pun aku akan menjaga nama mereka. Orang harus memandang bahwa mereka peduli padaku.

Pagi itu aku berjalan ke rumah Ndhuk Ti. Untuk mengajukan permintaan sebagaimana kuucapkan dulu kepada Sirah. Namun, tanpa mempersilakan aku duduk, ia berkacak pinggang membentak, ”Ikutlah pada Wahib, anak kesayanganmu itu”. Tanpa berkata apa-apa aku segera balik badan. Aku berjalan di atas kakiku yang telah melewati dua zaman penjajahan, Belanda dan Jepang. Mataku yang menjadi saksi pergantian zaman penjajahan, pergantian orde, dan suka-duka anakku sendiri, akhirnya berair lagi.

Mata lebih memberi makna dari pada kata-kata. Ketika aku tak sanggup mengutuk anakku, mataku mampu menjawab. Aku di rumahku lagi. Setiap berangkat tidur, aku berpikir apakah aku benar-benar tidak adil? Awan dan Fai sekolah bukan aku yang membiayai. Wahib punya sawah dan tanah, bukan aku yang membelikan. Padahal Ndhuk Ti dan Sirah sekarang lebih kaya dibanding Wahib, mereka iri.

Ndhuk Ti bermusuhan dengan Kanghari maksudnya Irlan, istri Sirah, dan Yekti istri Wahib. Jamingah, istri Marlin membenci istri Wahib. Keempat anakku tidak ada yang rukun. Tidak ada komunikasi, tidak ada konfirmasi. Adanya hanya diam, itu pun kalau berhadapan. Bila di belakang, semua menjadi orator ulung yang seolah-olah mengalahkan Bung Karno saat berpidato. Orang desa menyebutnya dengan satru.

Tak pandang bulu kepada siapa dan dengan siapa. Sebuah kata yang hanya bisa disamakan dengan cinta dan nafsu.Tak peduli kepada saudara sekandung, ipar, keponakan, ayah, dan ibu. Itulah yang tidak dipedulikan oleh anakanakku, tapi dilakukan. *** “Mbok,” suara pintu diketuk.

Dengan kekuatan renta, aku bangkit dari peraduan. Kubuka pintu dan masuklah Marlin. Mbok, tinggallah di rumahku”, kata Marlin. Mataku menangis lagi dan aku menjawab,“Ya”. Aneh, semenjak aku tinggal di rumah Marlin, Awan, dan Fai putra Wahib tak pernah sekali pun berkunjung. Padahal kedua anak ini sangat sayang pada neneknya. Barangkali mereka tidak pernah pulang, sibuk belajar di Yogyakarta.

Aku bersyukur, ada cucuku yang mementingkan pendidikan, meskipun hanya dua orang itu. Semoga mereka berdua mampu memberi teladan baik kepada saudara yang lain. Di rumah Marlin aku kembali menjadi burung, dikasih makan, bersuara merdu, tapi tidak diajak bicara. Bukan karena memusuhi, tapi ngobrol dengan orang tua dibilang dilema. Berbicara pelan tidak dengar, jika keras dikira membentak.

Padahal telingaku tidak tuli, jika aku bertanya mereka menjawab sekenanya tanpa pernah serius. Aku sakit hati. Kuputuskan pindah ke rumah Wahib. Aku diterima dengan baik oleh Awan dan Fai. Kebetulan mereka tidak di Yogyakarta, sedang libur katanya. Aku bahagia. Kebutuhanku tercukupi semua, lahiriah maupun batiniah. Aku menjadi saksi rumah tangga Wahib. Lima tahun ini aku bangga pada mereka.

Awan telah menikah dan menjadi wartawan. Fai menjadi perwira TNI. Jika mereka berdua pulang, selalu minta didongengkan masa mudaku, masa muda ayahnya, dan semua pengalaman yang aku alami. Di sini aku bukanlah seekor burung, tapi aku menjadi seorang manusia lagi. Sayang, keduanya kini jarang pulang. Aku pun kesepian. Awan sibuk dengan profesinya. Fai tak dapat membantah perintah komandan. Jadilah mereka jarang pulang.

Namun, masih tetap mengajakku bicara meskipun hanya melalui telepon. Tanpa keberadaan Awan dan Fai, Wahib sering bertengkar dengan istrinya. Pertengkaran memuncak ketika musim penghujan dan keluarga ini bingung mencari biaya untuk bersawah. Dalam pertengkaran itu, aku ikut campur dan berusaha menengahi. Yekti mengira aku menyalahkan dia dan membela suaminya yang juga anakku.

“Dari pada aku sakit hati mendengarkan pertengkaran kalian, lebih baik aku tinggal di rumah anakku yang lain lagi”,kukatakan itu. Tak kusangka Yekti menjawab,” Silakan!” Yekti menunggu reaksiku, kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Namun, aku tidak mau menunggu diusir. Mataku juga tidak menunggu berlinang. Aku pergi dulu. Dengan tergesa-gesa aku berjalan kaki meninggalkan rumah itu.

Aku berlari sangat cepat. Seorang anak muda yang pulang dari sekolah mengagetkanku. Aku lari, anak ini berjalan. Kok dia bisa menyalip aku? Oh iya, aku sudah tua. Kaki renta ini terbawa hingga ke rumah Ndhuk Ti meminta izin tinggal di rumahnya. Jawaban seperti sediakala muncul dari mulutnya.

Yang mungkin telah ia rancang jauh-jauh hari sebelum aku datang. Hanya dia anakku yang tak pernah sekalipun memperbolehkanku menginap di rumahnya. Sirah dan Marlin juga menolak keberadaanku. Oh anak-anakku. Agama hanya kalian amalkan lima kali sehari, atau ketika sedang berkhotbah, mau makan, dan hendak ke kamar kecil. Sementara batin, mulut, pikiran dan kelakuan tidak beragama.

Atau belum? Lalu sampai kapan. Pernah sekali Wahib menyuruhku kembali ke rumahnya, namun kutolak. Aku masih trauma dengan ucapan terakhir istrinya yang kasar. *** Mimpi itu nyata, tapi kejadian dalam mimpi yang tidak nyata. Dalam dunia mimpi, kerja dari pikiran manusia mirip dengan jaringan yang rumit, logis tapi misterius, beralasan tapi aneh, dan sehat tapi kacau. Semua yang menimpaku bukan mimpi, nyata adanya, kejadiannya juga nyata, dan sayang sekali seburuk nasibku.

Kejadian ini didengar oleh Bu Mawar sahabatku, orang tua yang telah berumur 76 tahun. Ia mempersilakan aku menempati tanahnya. Tanah yang dulu dipinjamkan oleh orang tua Bu Mawar pada ibuku, tanah yang menerima kelahiranku, kelahiran anak-anakku dan kelahiran cucu-cucuku. Saat aku dan keturunanku tak kuasa membeli tanah, tapi mampu menjaga amanah. Aku tetap melahirkan dan merawat anak-anakku.

Hingga pada satu waktu aku tidak miskin lagi. Aku dan Parto Yun jadi buruh tani sukses. Gabah bertumpuk, kerbau beranak-pinak. Cukup untuk beli tanah, jelas bagi semua anakku. Statusku berubah, dari tumpangsari menjadi punya sendiri, dari ngenger menjadi mandiri. Sebenarnya aku tidak lupa berpesan pada mereka untuk tetap menjalankan amanah, tapi dengki tidak dapat dicegah.

Inilah yang membuatku memilih untuk berpaling pada tanah tempat aku dilahirkan. tumpang sari. Benar kata pepatah,“Lidah tak bertulang”. Ceritaku membuat si Kemis keponakanku tersentak, tiba-tiba ia mengantarkan padaku kayu-kayu dan genting bekas dapurnya yang sudah tidak digunakan yang bisa dipindah ke tanah itu.

Aku lega, di mana anak-anakku? Biarkan mereka sadar, atau disadarkan oleh Awan dan Fai, cucuku yang pernah makan sekolahan. Kini aku tinggal sendiri. Aku masih bisa memasak, bekerja dan hidup sendiri. Aku hanya tidak bisa mengutuk. Terutama kepada anak-anakku. Kudoakan engkau Tirah, semoga Palembang memberimu berkah. Sirah, Ndhuk Ti, Marlin, aku tidak dendam pada kalian.

Dan kasih sayangmu dan anakanakmu yang diberikan padaku, Wahib, aku tidak lupa. Anakmu tidak boleh seperti Pontius Pilatus, membiarkan gurunya yang tidak bersalah disalib oleh keputusan massa. Anakmu harus peduli, jangan enggan memikul tanggung jawab.

Cucuku, buka mata hati ayah-ibumu, saudara-saudara ayahmu, sebelum banyak orang menghardik akibat tidak tahu persoalan. Engkau yang diberi kesempatan memakan bangku kebijaksanaan. Memang beda antara pelajar biasa dan pelajar tercerahkan, apalagi yang tidak belajar. Itulah kata Bu Mawar sahabatku. Untuk Bu Nurkhayati Amin Abdullah, Bu Sarmi dan Bu Anwar.