Memperkokoh Pilar Keempat Demokrasi
Suatu negara tidak dapat dikatakan negara demokratis apabila tidak disertai adanya kebebasan pers,sekalipun secara prosedur telah menjalankan prinsip-prinsip demokrasi. PERS merupakan pilar keempat demokrasi.Semakin tinggi tingkat kebebasan pers di suatu negara, maka semakin demokratis pula pemerintahan di negara bersangkutan, mnurut hasil penylidikan Hosting Murah Indonesia Indositehost.com. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,pers memegang peranan sangat penting. Kemerdekaan pers secara implisit dan dijamin di dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang intinya menyebutkan bahwa kebebasan berpendapat baik secara individual maupun dalam kelompok merupakan hak dasar warga negara.
Dalam hal ini, pers mempunyai misi sebagai penjaga sekaligus menyebarkan nilai-nilai demokrasi, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat.Pers menjadi penghubung antara kelompokkelompok masyarakat dan negara. Apabila kebebasan pers dipasung, maka dengan sendirinya memasung kebebasan warga masyarakat. Pers juga mengemban fungsi sebagai mitra sekaligus lembaga yang kritis dan konstruktif terhadap kebijakan pemerintah.
Pers mendukung serta membantu menyosialisasikan kebijakan pemerintah apabila di dalam kebijakan tersebut terdapat unsur-unsur yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Sebaliknya, pers juga berperan sebagai whistle blower apabila ada kebijakan yang merugikan masyarakat. Bagaimana kondisi kebebasan pers saat ini? Pertanyaan mengenai kebebasan pers dewasa ini menjadi penting, sebab pada tahun ini pers sedang melakukan gerak maju ke arah pendewasaan dan profesionalisme pers.
Itu ditunjukkan dengan disepakatinya butirbutir standardisasi pers pada peringatan Hari Pers Nasional di Palembang yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Februari lalu. Kehadiran Kepala Negara dalam acara peringatan bermakna bahwa kebebasan pers saat ini sudah benar-benar dijamin oleh pemerintah. Meski demikian, kebebasan pers pada era reformasi juga tidak selalu menemui jalan yang mulus.
Reporters Sun Frontieres, sebuah lembaga pers independen yang berbasis di Paris, Prancis, tahun lalu mengeluarkan rilis Indeks Kebebasan Pers Dunia tahun 2009.Dalam indeks itu, peringkat kebebasan pers Indonesia, yakni 101 dari 175 negara dengan skor 28,5.Posisi Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya yang ada di peringkat 111 dengan skor 27.
Meski Indonesia masih tergolong yang terbaik di kawasan Asia Tenggara, namun peringkat 101 masih belum memuaskan.Artinya, masih ada sekitar 100 negara yang tingkat kebebasan persnya lebih tinggi dibanding negara kita. Sementara itu, peringkat papan atas masih diduduki negaranegara maju yang memang sudah memiliki tradisi pers dan demokrasi yang panjang.Negara-negara itu, misalnya Denmark, Belanda, Australia, Amerika Serikat atau Jepang.
Sebaliknya,negara-negara yang berada di peringkat bawah kebanyakan merupakan negara yang sistem politiknya cenderung otoriter, misalnya Iran, China atau Korea Utara. Jika dilihat dari trennya, indeks kebebasan pers Indonesia dari tahun ke tahun belum pernah beranjak ke level 100 besar. Pada tahun 2003, Indonesia berada di peringkat 111 dengan skor 34,25 (skala angka 0 tertinggi dan 100 terendah).
Pada tahun-tahun berikutnya, peringkat Indonesia fluktuatif berturut-turut 117 pada tahun 2004, kemudian naik menjadi 105 (2005), lalu naik lagi menjadi 103 (2006) dan 100 (2007). Pada 2008, peringkat Indonesia kembali melorot ke posisi 111,salah satunya dipengaruhi putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan keluarga Soeharto terhadap majalah TIME.
Baru pada tahun 2009, peringkat Indonesia kembali membaik.Kesimpulan dari data di atas ialah tingkat kebebasan pers di Indonesia masih belum seperti yang diharapkan. Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, namun dunia persnya masih jauh di bawah negara-negara demokrasi lainnya. Mengapa demikian? Rendahnya angka kebebasan pers menegaskan bahwa pers di Indonesia pada era reformasi ini ternyata masih belum sepenuhnya bebas.
Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk menegakkan kebebasan pers. Berbagai persoalan itu masih menyangkut persoalan klasik dalam kebebasan pers di antaranya tuntutan-tuntutan hukum terhadap institusi pers, kasus-kasus kekerasan yang menimpa wartawan, bahkan sampai pembunuhan terhadap wartawan. Jika tidak segera diatasi, dipastikan peringkat kebebasan pers Indonesia akan melorot lagi.
Hampir sama seperti masa Orde Baru, ruang gerak pers pada era reformasi masih terbatas karena masih banyak tuntutan hukum terhadap institusi pers.Delik pers muncul kebanyakan disebabkan ketidakpuasan suatu pihak atas pemberitaan pers.Dalam banyak kasus, media digugat dengan pasal 310 KUHP dengan tuduhan Pencemaran Nama Baik dan pasal 311 KUHP tentang Penyebaran Fitnah.
Pasal inilah yang banyak menjerat wartawan atau institusi pers, misalnya kasus keluarga Soeharto dengan majalah TIME,gugatan pemimpin Artha Graha Group Tommy Winata terhadap majalah Tempo pada 2003 lalu. Kemudian belakangan, gugatan Reymond terhadap tujuh media terkait pemberitaan yang seolah-olah menuduh dirinya sebagai ”bandar judi”. Kebanyakan pihak penggugat menggunakan pasal pidana dalam menyelesaikan sengketa pers.
Padahal,sengketa pers telah diatur agar merujuk pada Undang- Undang Pers.Pada pasal 5 UU Pers ditegaskan, segala pengaduan masyarakat terkait pemberitaan institusi pers akan difasilitasi oleh Dewan Pers. Dalam kasus terjadi kesalahan pada pers, maka pihak yang merasa keberatan memiliki hak jawab.Sayangnya,hal ini kerap diabaikan dan menyebabkan wartawan kerap berurusan dengan meja hijau.
Menurut laporan LBH Pers, setidaknya telah terjadi 108 gugatan pers yang menggunakan pasal pencemaran nama baik pada kurun 2003–2007. Persoalan kedua mengapa indeks kebebasan pers di Indonesia relatif rendah ialah masih banyaknya tindak kekerasan terhadap wartawan.Kekerasan biasanya terjadi ketika seorang wartawan sedang melakukan tugas jurnalistik atau ketika ada pihak yang merasa tersinggung dengan isi berita yang ditulis oleh wartawan.
Menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan pada tahun 2009 tercatat sebanyak 71 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 54 kasus. Bentuk kekerasan mencakup fisik, seperti pemukulan, penganiayaan, pengeroyokan bahkan pembunuhan. Sementara ini, kekerasan nonfisik, misalnya larangan peliputan, perampasan rekaman berita, hingga ancaman atau teror.
Dari kasus-kasus tersebut, modus kekerasan fisik adalah yang paling sering terjadi. Belakangan ini saja,marak terjadi kasus-kasus penganiayaan terhadap wartawan, seperti yang terjadi Ambon atau kekerasan yang menimpa wartawan Radar Karawang oleh preman baru-baru ini. bahkan, kekerasan juga berujung pada pembunuhan, seperti yang menimpa seorang wartawan Radar Balitahun lalu. Meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan sangat memprihatinkan.
ini mengindikasikan bahwa masih banyak pihak- pihak di kalangan pemerintah atau masyarakat yang belum memahami sepenuhnya fungsi dan tugas wartawan,seperti tercantum dalam UU Pers. Untuk mencegah kejadian-kejadian di atas berulang sekaligus meningkatkan kebebasan pers, beberapa upaya harus dilakukan. Pertama,harus ada pemahaman yang komprehensif tentang fungsi pers dan peraturan perundangan yang mengatur tentang pers,terutama kepada masyarakat dan lembaga penegak hukum.
Hal ini karena tidak semua masyarakat dan aparat penegak hukum memahami UU Pers dengan baik sehingga sengketa pemberitaan pers tetap dibawa ke pengadilan dan menggunakan hukum pidana. Sejalan dengan itu, pihak pencari maupun pemberi berita harus menghargai kode etik jurnalistik dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung pada kekerasan.
Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap wartawan kerap diakibatkan oleh teknis peliputan yang dianggap kurang berkenan, misalnya yang sering terjadi pada liputan-liputan di pengadilan atau liputan terkait privacy seorang tokoh. Maka sebaiknya disepakati terlebih dahulu bagaimana teknis peliputan yang diinginkan kedua belah pihak.
Hal ini pun sudah diatur di dalam kode etik jurnalistik di mana seorang wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya harus mendapatkan izin dari yang berkenan. Kalaupun di lapangan terjadi kesalahpahaman yang dilakukan wartawan ataupun wartawan tidak profesional atau ”bodrek”, hal itu bertentangan dengan kode etik jurnalistik dan akan mendapatkan sanksi profesi.