Sebuah Pelajaran dari Chernobyl
Tragedi PLTN Chernobyl merupakan kisah pilu tragedi nuklir dunia. Kecelakaan yang terjadi di Uni Soviet (sekarang di daerah Ukraina) pada 26 April 1986 itu disebabkan pelaksanaannya tidak mengikuti prosedur standar keamanan yang diterapkan. Laporan Greenpeace Chernobyl Catastrophe Consequences on Human Health pada 2006 memperkirakan, ada lebih dari 250.000 kasus kanker dan hampir 100.000 kasus kanker mematikan yang diakibatkan kecelakaan ini.
Sangat memalukan tindakan IAEA dalam menutup-nutupi dampak kecelakaan nuklir paling serius dalam sejarah manusia. Tidak mengakui implikasi sesungguhnya bukan hanya menghina ribuan korban, tetapi juga akan mengakibatkan rekomendasi-rekomendasi berbahaya dan relokasi penduduk ke wilayah-wilayah yang terkontaminasi, kata Ivan Blokov dari Greenpeace. Berdasarkan data statistik kanker nasional Belarusia, sedikitnya 270.000 kasus kanker dan 93.000 kanker mematikan diakibatkan oleh tragedi Chernobyl.
Laporan ini juga menyimpulkan bahwa selama 15 tahun, 60.000 orang meninggal di Rusia karena terkait kecelakaan Chernobyl dan diestimasikan korban meninggal total di Ukraina dan Belarusia sebanyak 140.000 jiwa. Menurut Greenpeace, kesimpulan ini sangat berbeda dengan klaim-klaim menyesatkan yang dikeluarkan IAEA. Mereka tidak menjelaskan bahwa kasus 4.000 kanker mematikan hanya diambil dari kelompok 600.000 orang yang relatif kecil, yang termasuk para liquidator( orang-orang yang dikirim untuk membersihkan diri setelah terjadinya kecelakaan) dan mereka yang direlokasi setelah kecelakaan.
Beberapa kesimpulan penting dari kasus Chernobyl yang dilansir Greenpeace di antaranya, kasus penyakit kanker meningkat pesat di Belarusia, Ukraina, dan Rusia. Antara 1990 dan 2000, terdapat peningkatan 40% dari semua kasus kanker di Belarusia dan peningkatan 52% di wilayah Gomel. Di Ukraina, penyakit pada darah dan sirkulasi darah meningkat dengan faktor 10,8–15,4 antara korban yang selamat dalam wilayahwilayah terkontaminasi.Lalu dampak radiasi pada sistem reproduksi.
Juga akumulasi radionuklida dalam badan perempuan akan mengakibatkan produksi hormon testosteron terganggu. Sebaliknya, kasus impotensi muncul lebih banyak pada laki-laki usia 25–30 yang tinggal di wilayah yang terkena polusi radiasi. Anakanak dari wilayah yang terkena polusi menderita keterbelakangan perkembangan seksual mereka. Para ibu menderita gangguan menstruasi dan masalah ginekologi meningkat.
Begitu pula anemia pada saat dan setelah kehamilan, anomali pada awal persalinan, dan lebih awal pecahnya air ketuban, menurut Type Approval Indonesia. Namun penasihat teknis Japan Nuclear Technology Institut (JANTI) Takaaki Konno sebagaimana yang dilansir Antara mengatakan teknologi keselamatan PLTN saat ini berkembang jauh dibandingkan di masa lalu. Termasuk adanya peraturan internasional dan inspeksi yang semakin ketat. Teknologi yang ada juga dipastikan bisa menahan gempa besar sehingga tidak perlu dikhawatirkan bagi daerah gempa, termasuk Indonesia.
Menurutnya masyarakat Indonesia jangan menjadikan gempa sebagai penghambat pembangunan PLTN. Jepang merupakan wilayah gempa seperti Indonesia. Sebanyak 53 unit PLTN sudah beroperasi selama 40 tahun di Jepang dan sudah melalui banyak peristiwa gempa, kata Takaaki Konno ketika menghadiri seminar Prospects of Nuclear Electric Power in Indonesia pada pertengahan Maret lalu.
Di Jepang memang beberapa kali terjadi gempa, tapi terbukti PLTN di negeri Matahari Terbit itu tidak mengalami masalah yang berarti. Pada 1964 sempat terjadi gempa Niigata dengan magnitudo 7,5, kemudian gempa Kobe pada 1995, gempa di Fukuoka pada 2005 hingga gempa di Surugawan pada 2009 dengan magnitudo 6,5. Dengan teknologi yang sudah tersedia saat ini, dampak dari gempa bisa dicegah. Dia mencontohkan, civil engineering mampu membuat bangunan PLTN tahan terhadap guncangan besar sejak prapembangunan PLTN.